Senin, 14 Desember 2015

SERPIHAN SURGA
NI8/US

Jejak kakiku akan abadi di atas lembah teletubbies
Angin sore membelaiku, menyambut riang sang pemimpi
Telah lama ku tinggalkan keelokan ini
Menanti kembali untuk mendaki
Wurung, aku rindu bercumbu denganmu
Menikmati sepak terjal di setiap inci langkah kakiku.
“Tittt tittt tittt” suara klakson kendaraan bermotor terus menghiasi pendengaranku. Ku palingkan kepala ke sisi jalan, kemacetan pajang menjadi tontonan di depan mata. Aku menarik nafas sambil memperbaiki headseat di telinga.
“Koran koran, koran, koran koran.”
“Korannya satu pak.”
“Iya mbak, mau nambah majalahnya lagi?”
“Tidak, ini saja.”
            Tanpa berpikir panjang koran yang baru saja dibeli, ku buka setiap halamannya. Opini tetap menjadi fokus utama untuk ku baca. Selanjutnya rubrik Nusantara tidak kalah memikatku memfokuskan sepasang mata berada di depannya. Gerah, risih, dan bau yang menyengat memecahkan konsentrasiku membaca koran. Ku lipat koran seperti semula dan mengipas-ngipaskannya ke muka, persis seperti tukang sate yang mengipaskan kipas berbahan dasar bambu. Untuk saat ini aku kurang menghargai para wartawan karena jasanya dalam memperoleh berita. Selayaknya koran untuk dibaca, ku alih fungsikan menjadi penghilang gerah yang menghasilkan keringat.
☺☺☺
“Kau jadi pulang hari ini?” ucap Lina ditelepon.
“Jadi dong, ini dalam perjalanan pulang.” Sahutku penuh keyakinan.
“Oke. Aku tunggu di stasiun.” Suaranya sangat lantang terdengar di ujung telepon.
            Tidak sabar untuk segera sampai di kota kelahiran, sesekali aku melihat jarum jam di pergelangan tangan kiriku. Pukul 09.00 WIB aku tiba di alun-alun Raden Bagus Asrah kota Bondowoso. Sambil menikmati udara pagi, aku berjalan ke arah timur menuju stasiun untuk menemui Lina. Lina, seorang pegawai yang bertugas di Dinas Pariwisata Pemuda Olahraga dan Perhubungan kota Bondowoso akan menemani aku dan beberapa teman kuliahku dari luar kota untuk mengelilingi kota Tape selama tiga hari.
            Beberapa teman kuliahku sudah bersama Lina, namun kami harus menunggu seorang teman laki-laki yang akan ikut berlibur bersama dalam menguji nyali. Pukul 13.00 WIB kami berangkat menuju tempat wisata yang berada di wilayah Bondowoso bagian timur. Butuh waktu empat jam untuk tiba di pos satu wisata pendakian gunung Kawah Ijen dan gunung Kawah Wurung. Senja menyapaku melalui rona kemerah-merahan yang akan tenggelam di ujung lembah teletubbies.
            Langit mulai gelap, rombongan kami beristirahat di Koramil kecamatan Sempol. Pukul 24.00 WIB kami melanjutkan perjalanan, melawan kantuk, melawan rasa dingin yang hadir di sela-sela jendela mobil. Pertama kali aku mendaki gunung dan pertama kali pula aku menikmati malam dengan sangat bermakna bersama teman-temanku yang datang dari luar kota, mereka datang untuk menikmati keindahan kotaku, ya kota Bondowoso. Bau belerang tidak menyurutkan semangat kami tiba di puncak, sekaligus untuk melihat api biru (Blue Fire) yang menyala di sekeliling kawah.
“Wow, indah sekali. Kenapa kamu baru mengajakku sekarang ke tempat ini?” Ucap Putri, teman kuliahku yang berasal dari Surabaya.
“Kemarin kita masih fokus ujian, jadi sekarang aku membawamu kesini.”
“Aku ingin menikmati keindahan yang lainnya.”
“Tenang saja, masih banyak surga Bondowoso yang belum kau datangi.”
            Selama di Sempol aku mengajak Putri, Manda, Sabil dan Dika ke gunung Kawah Wurung. Sebelah barat gunung Kawah Ijen. Berbeda dengan Kawah Ijen, Kawah Wurung memberikan keindahan tersendiri bagi teman-temanku. Sabana yang terhampar luas memanjakan mata untuk berlama-lama di tempat ini. Sementara keempat temanku sibuk berselfie ria mengabadikan kunjungannya di Kawah Wurung.
“Its beautiful, Bondowoso amazing.” Desah Caroline, wisatawan asal Australia.
“Yeah, welcome in Kawah Wurung Bondowoso.”
“I’m very happy, Bondowoso i’m in love.”
            Bersama Caroline dan Jack kami melanjutkan perjalanan menuju air terjun Kali Pahit yang memiliki kandungan belerang tinggi karena aliran dari Kawah Ijen, pemandian Air Panas dan air terjun Blawan di desa Kalianyar. Setengah hari kami berpetualang, waktunya kami untuk membersihkan diri di air terjun Blawan. Tumbuhan macadamia juga mengelilingi setiap aliran air yang menambah keindahan air terjun.
Keseruan kami tidak hanya sampai di air terjun Blawan. Sekitar dua puluh satu kilometer dari air terjun Blawan, kami singgah di air terjun Puloagung yang berada di Kecamatan Sumber Wringin.
“Ni, tolong antarkan aku ke tempat yang indah untuk menikmati matahari tenggelam.”
“Baik, tidak jauh dari tempat ini ada sebuah Bendungan. Nama Bendungan itu Sampean Baru. Disana kita hanya membayar parkir untuk dapat menikmati keindahan alamnya.”
“Oh ya? Aku sudah tidak sabar ingin cepat-cepat ke sana.”
☺☺☺
            Menyusuri jalanan yang sepi, diapit oleh tanaman tebu di kanan dan kiri jalan menambah kesejukan di dalam mobil. Tunas tebu berlomba-lomba menjalar di sekitar semak-semak. Ada pula tanaman tebu yang siap untuk ditebang, diangkut melalui truk perusahaan menuju pabrik gula yang berada di Kecamatan Prajekan. Sepanjang perjalanan dari gerbang Desa Tapen, tidak jarang sepasang mataku menjumpai anak-anak mengupas batang tebu dan memotongnya kecil-kecil untuk dihisap.
            Tulisan Bendungan Sampean Baru mulai terlihat dari kejauhan. Setelah memarkirkan mobil, kami berlima segera turun dan memasuki area Bendungan.  Hawa dingin menyambut kedatangan kami dengan segera. Namun, keindahan senja di kaki bukit yang terbentang di sebelah utara bendungan membuat kami berdecak kagum. Di tengah bendungan terdapat jembatan yang menghubungkan daratan di sebelah barat bendungan dengan daratan di sebelah timurnya.
“Wonderful, aku tidak harus jauh-jauh datang ke Surabaya untuk bisa menikmati keindahan jembatan Suramadu. Cukup di Bendungan Sampean Baru ini aku bisa menikmati keindahan alam yang sangat menakjubkan.” Tegas Manda.
            Keindahan alam Bondowoso mampu membius teman kuliahku yang berasal dari kota Magelang, tidak lain adalah Manda. Berkali-kali ia mengungkapkan rasa senangnya berkunjung dan berwisata di kota yang tidak memiliki garis pantai ini.
“Iya, ini salah satu alasan mengapa aku selalu rindu akan kota kelahiranku. Di sini banyak cerita, banyak kenangan, dan banyak wawasan yang bisa diperoleh dari setiap perjalanan wisata yang aku kunjungi.”
☺☺☺
“Ni, bagaimana dengan suasana malam di alun-alun kota?”
“Di alun-alun kota sedang berlangsung acara tahunan, yaitu Festival Muharram. Beberapa kesenian dan kebudayaan kota Bondowoso ditampilkan di acara itu.”
“Wah bagus, tepat sekali dengan kehadiran kami di sini. Setidaknya kami bisa melihat langsung wujud dari kesenian kotamu.”
“Bagaimana kalau kita menghabiskan malam di alun-alun kota?”
“Setuju!”
            Monumen Gerbong Maut, saksi sejarah perlawanan masyarakat Bondowoso pada zaman Belanda tertata rapi di depan kantor Bupati. Sejenak kami berselfie ria di depan Monumen Gerbong Maut yang diatasnya terdapat patung memegang senjata siap tempur melawan kekejaman pemerintahan kolonial Belanda.
            Sabil menarik tangan kananku, mengajak kami membeli tiket untuk menonton pameran budaya yang diselenggarakan Pemerintah Daerah. Terdapat beberapa kebudayaan Bondowoso yang dipamerkan di Festival Muharram, antara lain: Ronteg Singo Ulung, Boneka Kathog, Sarkopagus Batu kenong, dan Kampung Batu. Namun, keempat kebudayaan yang ditampilkan ini hanya berbentuk gambar.
“Ronteg Singo Ulung, keren sekali namanya.”
“Tentu atraksi dari Ronteg Singo Ulung lebih keren dari julukannya.”
“Besok akan diadakan atraksi Ronteg Singo Ulung di alun-alun ini. Bagaimana jika sebelum kembali ke daerah rantauan kalian menonton pertunjukan dari Ronteg Singo Ulung?”
“Pasti! Pasti kami akan menontonnya.”
“Lebih baik sekarang kita istirahat, besok masih banyak tempat-tempat yang harus kita datangi.”
☺☺☺
            Menyambut pagi dengan memulai aktivitas senam masal di tengah alun-alun kota membuat rasa lelah kami sedikit terobati. Para pejalan kaki memanjakan kakinya di atas trotoar Jalan Letnan Amir Kusnan depan kantor Pemerintah Daerah mengelilingi alun-alun. Sementara sepanjang jalan di sebelah timur alun-alun kota terdapat pasar minggu. Disana kami menemukan Boneka Kathog salah satu kebudayaan Bondowoso.
            Puas berkeliling pasar minggu, kami melanjutkan perjalanan wisata menuju Situs Megalitikum yang berada di kecamatan Grujugan. Untuk tiba di Situs Megalitikum ini dibutuhkan waktu sekitar sepuluh menit. Wisata budaya yang sarat akan sejarah kini berada tepat di depan mata kami. Terdapat menhir, sarkofagus, dolmen, dan batu kenong di sekitar pemukiman warga. Kami dapat melihat dengan jelas sisa-sisa peninggalan tradisi megalitik muda ini, bahkan dapat memegang langsung wujudnya.
“Tolong abadikan aku disini!”
“Hati-hati Dik, nanti dolmennya pecah.”
            Berbeda dengan Dika yang mengabadikan kunjungannya dengan berbaring di atas dolmen. Manda lebih memilih berfoto bersama arca batu berbentuk mobil. Tidak lama kami berada di area Situs Megalitikum. Aku mengajak keempat temanku menikmati kesegaran air di Pemandian Alam Tasnan. Suasana yang sejuk dan pepohonan tumbuh subur di sekeliling kolam renang mendorong kami untuk segera menjeburkan diri ke kolam.
            Sekitar pukul 11.00 WIB, pengunjung pemandian Alam Tasnan mendapat hiburan gratis dari pengelola tempat wisata. Sepasang Ronteg Singo Ulung yang dimainkan oleh anggota Forum Pemuda Taman beratraksi di wahana bermain anak. Sabil menyudahi berenangnya, ia berjalan mendekati kerumunan pengunjung yang memadati wahana bermain anak.
“Boleh saya ikut bermain menjadi Ronteg Singo Ulung?” Pinta Sabil kepada ketua Forum Pemuda Taman.
“Oh iya, silakan mas. Apa sebelumnya mas pernah melakukan atraksi Ronteg ini?”
“Tidak pernah. Saya tertarik sekali untuk ikut bermain menjadi pemeran di Ronteg ini, karena di kota saya tidak ada budaya seperti ini. Bagaimana, boleh saya ikut bermain?”
“Tentu. Mari saya pandu.”
            Sabil masuk ke dalam karung bagian belakang. Dia harus membungkukkan badannya ke depan dan mengikuti tarian dari pemain di depannya. Dengan lincah Sabil dapat menyeimbangkan gerakannya sesuai instruksi. Dika yang menonton di barisan pengunjung bersorak sorai memanggil nama Sabil.
☺☺☺
            Pabrik Tape menjadi tujuan akhir untuk mengenalkan potensi Budaya dan Wisata Bondowoso. Kami kembali ke daerah rantauan membawa kenangan manis di setiap kunjungannya. Pemandangan Arak-arak ternyata memikat kami untuk menikmatinya. Jalan tembus menuju Bondowoso dari arah barat ini menyuguhkan pemandangan yang luar biasa alami. Di tempat ini pengunjung dapat melihat keindahan kota Bondowoso dari atas bukit.
            Petualangan singkat dan menguak sejarah. Suatu saat akan kurindukan kebersamaan ini. Putri, Manda, Sabil, dan Dika sahabat baru yang ku kenal di daerah rantauanku, mereka sibuk menyantap Tape pemberian Lina. Ada kebanggaan tersendiri bagiku saat melihat keempat sahabatku mengagumi tempat wisata dan budaya yang baru saja ku tunjukkan padanya. Bondowoso, kota kecil penuh kenangan dengan sejuta harapan dan impian. Kelak aku akan kembali menikmati serpihan surga yang tersebar di dalamnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar