SERPIHAN SURGA
NI8/US
Jejak kakiku akan abadi di atas
lembah teletubbies
Angin sore membelaiku, menyambut
riang sang pemimpi
Telah lama ku tinggalkan keelokan
ini
Menanti kembali untuk mendaki
Wurung, aku rindu bercumbu denganmu
Menikmati sepak terjal di setiap
inci langkah kakiku.
“Tittt
tittt tittt” suara klakson kendaraan bermotor terus menghiasi pendengaranku. Ku
palingkan kepala ke sisi jalan, kemacetan pajang menjadi tontonan di depan
mata. Aku menarik nafas sambil memperbaiki headseat di telinga.
“Koran
koran, koran, koran koran.”
“Korannya
satu pak.”
“Iya
mbak, mau nambah majalahnya lagi?”
“Tidak,
ini saja.”
Tanpa berpikir panjang koran yang
baru saja dibeli, ku buka setiap halamannya. Opini tetap menjadi fokus utama
untuk ku baca. Selanjutnya rubrik Nusantara tidak kalah memikatku memfokuskan
sepasang mata berada di depannya. Gerah, risih, dan bau yang menyengat memecahkan
konsentrasiku membaca koran. Ku lipat koran seperti semula dan
mengipas-ngipaskannya ke muka, persis seperti tukang sate yang mengipaskan
kipas berbahan dasar bambu. Untuk saat ini aku kurang menghargai para wartawan
karena jasanya dalam memperoleh berita. Selayaknya koran untuk dibaca, ku alih
fungsikan menjadi penghilang gerah yang menghasilkan keringat.
☺☺☺
“Kau
jadi pulang hari ini?” ucap Lina ditelepon.
“Jadi
dong, ini dalam perjalanan pulang.” Sahutku penuh keyakinan.
“Oke.
Aku tunggu di stasiun.” Suaranya sangat lantang terdengar di ujung telepon.
Tidak sabar untuk segera sampai di
kota kelahiran, sesekali aku melihat jarum jam di pergelangan tangan kiriku.
Pukul 09.00 WIB aku tiba di alun-alun Raden Bagus Asrah kota Bondowoso. Sambil
menikmati udara pagi, aku berjalan ke arah timur menuju stasiun untuk menemui
Lina. Lina, seorang pegawai yang bertugas di Dinas Pariwisata Pemuda Olahraga
dan Perhubungan kota Bondowoso akan menemani aku dan beberapa teman kuliahku
dari luar kota untuk mengelilingi kota Tape selama tiga hari.
Beberapa teman kuliahku sudah
bersama Lina, namun kami harus menunggu seorang teman laki-laki yang akan ikut
berlibur bersama dalam menguji nyali. Pukul 13.00 WIB kami berangkat menuju
tempat wisata yang berada di wilayah Bondowoso bagian timur. Butuh waktu empat
jam untuk tiba di pos satu wisata pendakian gunung Kawah Ijen dan gunung Kawah
Wurung. Senja menyapaku melalui rona kemerah-merahan yang akan tenggelam di
ujung lembah teletubbies.
Langit mulai gelap, rombongan kami beristirahat
di Koramil kecamatan Sempol. Pukul 24.00 WIB kami melanjutkan perjalanan,
melawan kantuk, melawan rasa dingin yang hadir di sela-sela jendela mobil.
Pertama kali aku mendaki gunung dan pertama kali pula aku menikmati malam
dengan sangat bermakna bersama teman-temanku yang datang dari luar kota, mereka
datang untuk menikmati keindahan kotaku, ya kota Bondowoso. Bau belerang tidak
menyurutkan semangat kami tiba di puncak, sekaligus untuk melihat api biru
(Blue Fire) yang menyala di sekeliling kawah.
“Wow,
indah sekali. Kenapa kamu baru mengajakku sekarang ke tempat ini?” Ucap Putri,
teman kuliahku yang berasal dari Surabaya.
“Kemarin
kita masih fokus ujian, jadi sekarang aku membawamu kesini.”
“Aku
ingin menikmati keindahan yang lainnya.”
“Tenang
saja, masih banyak surga Bondowoso yang belum kau datangi.”
Selama di Sempol aku mengajak Putri,
Manda, Sabil dan Dika ke gunung Kawah Wurung. Sebelah barat gunung Kawah Ijen.
Berbeda dengan Kawah Ijen, Kawah Wurung memberikan keindahan tersendiri bagi
teman-temanku. Sabana yang terhampar luas memanjakan mata untuk berlama-lama di
tempat ini. Sementara keempat temanku sibuk berselfie ria mengabadikan
kunjungannya di Kawah Wurung.
“Its
beautiful, Bondowoso amazing.” Desah Caroline, wisatawan asal Australia.
“Yeah,
welcome in Kawah Wurung Bondowoso.”
“I’m
very happy, Bondowoso i’m in love.”
Bersama Caroline dan Jack kami
melanjutkan perjalanan menuju air terjun Kali Pahit yang memiliki kandungan
belerang tinggi karena aliran dari Kawah Ijen, pemandian Air Panas dan air terjun
Blawan di desa Kalianyar. Setengah hari kami berpetualang, waktunya kami untuk
membersihkan diri di air terjun Blawan. Tumbuhan macadamia juga mengelilingi
setiap aliran air yang menambah keindahan air terjun.
Keseruan
kami tidak hanya sampai di air terjun Blawan. Sekitar dua puluh satu kilometer
dari air terjun Blawan, kami singgah di air terjun Puloagung yang berada di
Kecamatan Sumber Wringin.
“Ni,
tolong antarkan aku ke tempat yang indah untuk menikmati matahari tenggelam.”
“Baik,
tidak jauh dari tempat ini ada sebuah Bendungan. Nama Bendungan itu Sampean
Baru. Disana kita hanya membayar parkir untuk dapat menikmati keindahan
alamnya.”
“Oh
ya? Aku sudah tidak sabar ingin cepat-cepat ke sana.”
☺☺☺
Menyusuri jalanan yang sepi, diapit
oleh tanaman tebu di kanan dan kiri jalan menambah kesejukan di dalam mobil.
Tunas tebu berlomba-lomba menjalar di sekitar semak-semak. Ada pula tanaman
tebu yang siap untuk ditebang, diangkut melalui truk perusahaan menuju pabrik
gula yang berada di Kecamatan Prajekan. Sepanjang perjalanan dari gerbang Desa
Tapen, tidak jarang sepasang mataku menjumpai anak-anak mengupas batang tebu
dan memotongnya kecil-kecil untuk dihisap.
Tulisan Bendungan Sampean Baru mulai
terlihat dari kejauhan. Setelah memarkirkan mobil, kami berlima segera turun
dan memasuki area Bendungan. Hawa dingin
menyambut kedatangan kami dengan segera. Namun, keindahan senja di kaki bukit
yang terbentang di sebelah utara bendungan membuat kami berdecak kagum. Di
tengah bendungan terdapat jembatan yang menghubungkan daratan di sebelah barat
bendungan dengan daratan di sebelah timurnya.
“Wonderful,
aku tidak harus jauh-jauh datang ke Surabaya untuk bisa menikmati keindahan
jembatan Suramadu. Cukup di Bendungan Sampean Baru ini aku bisa menikmati
keindahan alam yang sangat menakjubkan.” Tegas Manda.
Keindahan alam Bondowoso mampu
membius teman kuliahku yang berasal dari kota Magelang, tidak lain adalah Manda.
Berkali-kali ia mengungkapkan rasa senangnya berkunjung dan berwisata di kota
yang tidak memiliki garis pantai ini.
“Iya,
ini salah satu alasan mengapa aku selalu rindu akan kota kelahiranku. Di sini
banyak cerita, banyak kenangan, dan banyak wawasan yang bisa diperoleh dari
setiap perjalanan wisata yang aku kunjungi.”
☺☺☺
“Ni,
bagaimana dengan suasana malam di alun-alun kota?”
“Di
alun-alun kota sedang berlangsung acara tahunan, yaitu Festival Muharram. Beberapa
kesenian dan kebudayaan kota Bondowoso ditampilkan di acara itu.”
“Wah
bagus, tepat sekali dengan kehadiran kami di sini. Setidaknya kami bisa melihat
langsung wujud dari kesenian kotamu.”
“Bagaimana
kalau kita menghabiskan malam di alun-alun kota?”
“Setuju!”
Monumen Gerbong Maut, saksi sejarah perlawanan
masyarakat Bondowoso pada zaman Belanda tertata rapi di depan kantor Bupati.
Sejenak kami berselfie ria di depan Monumen Gerbong Maut yang diatasnya
terdapat patung memegang senjata siap tempur melawan kekejaman pemerintahan
kolonial Belanda.
Sabil menarik tangan kananku,
mengajak kami membeli tiket untuk menonton pameran budaya yang diselenggarakan
Pemerintah Daerah. Terdapat beberapa kebudayaan Bondowoso yang dipamerkan di
Festival Muharram, antara lain: Ronteg Singo Ulung, Boneka Kathog,
Sarkopagus Batu kenong, dan Kampung Batu. Namun, keempat kebudayaan yang
ditampilkan ini hanya berbentuk gambar.
“Ronteg
Singo Ulung, keren sekali namanya.”
“Tentu
atraksi dari Ronteg Singo Ulung lebih keren dari julukannya.”
“Besok akan
diadakan atraksi Ronteg Singo Ulung di alun-alun ini. Bagaimana jika sebelum
kembali ke daerah rantauan kalian menonton pertunjukan dari Ronteg Singo
Ulung?”
“Pasti!
Pasti kami akan menontonnya.”
“Lebih baik
sekarang kita istirahat, besok masih banyak tempat-tempat yang harus kita
datangi.”
☺☺☺
Menyambut pagi dengan memulai
aktivitas senam masal di tengah alun-alun kota membuat rasa lelah kami sedikit
terobati. Para pejalan kaki memanjakan kakinya di atas trotoar Jalan Letnan
Amir Kusnan depan kantor Pemerintah Daerah mengelilingi alun-alun. Sementara sepanjang
jalan di sebelah timur alun-alun kota terdapat pasar minggu. Disana kami
menemukan Boneka Kathog salah satu kebudayaan Bondowoso.
Puas berkeliling pasar minggu, kami
melanjutkan perjalanan wisata menuju Situs Megalitikum yang berada di kecamatan
Grujugan. Untuk tiba di Situs Megalitikum ini dibutuhkan waktu sekitar sepuluh
menit. Wisata budaya yang sarat akan sejarah kini berada tepat di depan mata
kami. Terdapat menhir, sarkofagus, dolmen, dan batu kenong di sekitar pemukiman
warga. Kami dapat melihat dengan jelas sisa-sisa peninggalan tradisi megalitik
muda ini, bahkan dapat memegang langsung wujudnya.
“Tolong
abadikan aku disini!”
“Hati-hati
Dik, nanti dolmennya pecah.”
Berbeda dengan Dika yang
mengabadikan kunjungannya dengan berbaring di atas dolmen. Manda lebih memilih
berfoto bersama arca batu berbentuk mobil. Tidak lama kami berada di area Situs
Megalitikum. Aku mengajak keempat temanku menikmati kesegaran air di Pemandian
Alam Tasnan. Suasana yang sejuk dan pepohonan tumbuh subur di sekeliling kolam
renang mendorong kami untuk segera menjeburkan diri ke kolam.
Sekitar pukul 11.00 WIB, pengunjung
pemandian Alam Tasnan mendapat hiburan gratis dari pengelola tempat wisata.
Sepasang Ronteg Singo Ulung yang dimainkan oleh anggota Forum Pemuda Taman
beratraksi di wahana bermain anak. Sabil menyudahi berenangnya, ia berjalan
mendekati kerumunan pengunjung yang memadati wahana bermain anak.
“Boleh saya
ikut bermain menjadi Ronteg Singo Ulung?” Pinta Sabil kepada ketua Forum Pemuda
Taman.
“Oh iya,
silakan mas. Apa sebelumnya mas pernah melakukan atraksi Ronteg ini?”
“Tidak
pernah. Saya tertarik sekali untuk ikut bermain menjadi pemeran di Ronteg ini,
karena di kota saya tidak ada budaya seperti ini. Bagaimana, boleh saya ikut
bermain?”
“Tentu. Mari
saya pandu.”
Sabil masuk ke dalam karung bagian
belakang. Dia harus membungkukkan badannya ke depan dan mengikuti tarian dari
pemain di depannya. Dengan lincah Sabil dapat menyeimbangkan gerakannya sesuai
instruksi. Dika yang menonton di barisan pengunjung bersorak sorai memanggil
nama Sabil.
☺☺☺
Pabrik Tape menjadi tujuan akhir
untuk mengenalkan potensi Budaya dan Wisata Bondowoso. Kami kembali ke daerah
rantauan membawa kenangan manis di setiap kunjungannya. Pemandangan Arak-arak
ternyata memikat kami untuk menikmatinya. Jalan tembus menuju Bondowoso dari
arah barat ini menyuguhkan pemandangan yang luar biasa alami. Di tempat ini pengunjung
dapat melihat keindahan kota Bondowoso dari atas bukit.
Petualangan singkat dan menguak
sejarah. Suatu saat akan kurindukan kebersamaan ini. Putri, Manda, Sabil, dan
Dika sahabat baru yang ku kenal di daerah rantauanku, mereka sibuk menyantap Tape
pemberian Lina. Ada kebanggaan tersendiri bagiku saat melihat keempat sahabatku
mengagumi tempat wisata dan budaya yang baru saja ku tunjukkan padanya.
Bondowoso, kota kecil penuh kenangan dengan sejuta harapan dan impian. Kelak
aku akan kembali menikmati serpihan surga yang tersebar di dalamnya.